Kawakibul Fushoha

Penjajahan atas Palestina dalam Perspektif Pemuda Muslim

Indo,Kegiatan

Pada bulan Desember 1895, seorang jurnalis kenamaan yang berasal dari Austria telah merampungkan sebuah tulisannya. Ia lalu mengetik judul untuk tulisannya yang akan diterbitkan menjadi buku itu dengan: DER JUDENSTAAT. Di bawahnya, ia memberi subjudul: Versuch Einer Modernen Lösung der Judenfrage.

Kemudian, dengan mata menyala, ia menatap bendera Daud berbentuk segi enam yang ada di dinding ruangannya. Lalu, ia bergumam dalam hatinya, “Untukku, untuk bangsaku, untuk ras dan agamaku.”

Penulis itu bernama Benyamin Ze’ev, atau dikenal dengan nama Theodor Herzl. Dalam dirinya mengalir darah Yahudi dari trah Zemun, Serbia. Tepat pada bulan Februari 1896, untuk pertama kalinya, buku Der Judenstaat terbit di Wina, Austria, dan Leipzig, Jerman. Buku yang berisi gagasan tentang pendirian negara Yahudi di Palestina itu mendapat sambutan luar biasa dari kalangan Yahudi dunia.

Pada Mei 1896, terjemahan dalam bahasa Inggris buku itu terbit di London dengan judul:
The Jewish State: Proposal of a Modern Solution for the Jewish Question.

“Tidak ada solusi bagi permasalahan-permasalahan Yahudi kecuali dengan mengumpulkan orang-orang Yahudi dari seluruh dunia dalam satu wilayah, lalu mereka menyelesaikan masalah-masalah mereka yang nyaris tidak terselesaikan selama dua ribu tahun setelah dihancurkan dan dicerai-beraikan oleh Romawi,” tulis Herzl.

Menarik untuk diketahui bahwa sebelum Romawi, Raja Nebukadnezar dari Kerajaan Babilonia telah lebih dahulu menghancurkan Temple of Solomon (Kuil Nabi Sulaiman a.s.) yang terletak di Baitulmaqdis. Mereka meyakininya sebagai tempat suci. Dari sinilah muncul alasan mengapa Amerika memerangi negara Irak, terlepas dari pernyataan para petinggi negara mereka tentang Irak yang memiliki senjata pemusnah massal dan kekayaan minyak. Semua itu hanyalah omong kosong belaka. Karena pada hakikatnya, penyerangan Amerika atas Irak didasari oleh keyakinan bahwa rakyat Irak adalah keturunan Raja Nebukadnezar—raja yang menyerang Baitulmaqdis di masa lampau. Hanya karena dendam kesumat yang menjadi ciri khas mereka, Amerika dengan entengnya membunuh ribuan bahkan jutaan rakyat Irak dan menjadikan dirinya sebagai algojo.

Adapun Theodor Herzl sendiri adalah seorang pekerja keras dan berjiwa pantang menyerah. Hal itu terbukti dari kedatangannya ke Istanbul pada 18 Juni 1896, satu tahun setelah ia menyelesaikan penulisan bukunya. Kedatangannya ke Istanbul disebabkan oleh wilayah Palestina yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah yang beribu kota di Istanbul. Bersama Philip Michael Nevelensky, Herzl hendak bertemu dengan Sultan Abdul Hamid. Nevelensky sendiri adalah pemimpin redaksi East Post yang memiliki hubungan dekat dengan Sultan Abdul Hamid. Karena itulah, Nevelensky menjadi perantara untuk menyampaikan pendapat-pendapat Herzl kepada istana Yıldız.

Kemudian terjadilah dialog antara Nevelensky dan Sultan Abdul Hamid. Kala itu, Sultan berkata kepadanya, apakah mungkin orang-orang Yahudi itu menetap di wilayah lain selain Palestina? Nevelensky menjawab bahwa Palestina dianggap sebagai tanah kelahiran pertama bagi orang-orang Yahudi, oleh karena itu mereka sangat merindukan untuk kembali ke sana.

Melalui perantara Nevelensky, Sultan Abdul Hamid pun mengirimkan surat kepada Herzl. Tertulis di dalamnya:

“Nasihatilah sahabat dekatmu, Herzl, agar ia tidak mengambil langkah-langkah baru seputar tema ini. Sebab, aku sama sekali tidak bisa melepaskan satu jengkal pun dari tanah-tanah suci Palestina. Negeri Palestina bukanlah milikku pribadi, tetapi merupakan milik bangsaku.

Nenek moyangku telah berperang demi memperoleh tanah ini dan telah mengalirkan darah mereka di atasnya. Hendaklah orang-orang Yahudi menggenggam jutaan uang mereka. Jika negaraku tercabik-cabik, mungkin saja mereka bisa mendapatkan Palestina tanpa tebusan apa pun. Tetapi, mereka harus memulainya dengan mencabik-cabik jasad kami terlebih dahulu.

Aku tidak akan membiarkan jasadku dicabik-cabik sementara aku masih hidup.”

Dan juga, salah satu kalimat yang membuat ciut nyali orang-orang Yahudi dan menjadi saksi kecintaan Sultan Abdul Hamid II terhadap Palestina adalah:

Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan suatu hari nanti, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Tetapi, bila aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada harus melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Utsmaniyah.” tegas Sultan Abdul Hamid II rahimahullah.”

Menghadapi fakta penolakan keras Sultan Abdul Hamid atas permintaannya, Herzl kemudian menyimpulkan bahwa negara Yahudi tidak akan pernah berdiri selama:

  • Sultan Abdul Hamid masih duduk di kursi kekhilafahan; dan

  • Kekhilafahan Utsmaniyah masih tetap berdiri sebagai institusi pemerintahan yang memiliki otoritas melindungi Baitul Maqdis. 

Karena itu, orang-orang Yahudi bersama sekutu-sekutunya berusaha keras, mengerahkan segala daya dan upaya mereka untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah—sebagai penghalang utama terealisasinya negara Yahudi.

Gayung bersambut, pada tahun 1909 mereka berhasil mengkudeta Sultan Abdul Hamid dan mengasingkannya ke Salonika (sekarang masuk wilayah Yunani). Dengan berakhirnya kepemimpinan Sultan Abdul Hamid, berakhirlah pula Khilafah Utsmaniyah. Meski setelahnya masih ada tiga sultan yang silih berganti duduk di kursi kekuasaan, sejarah mencatat bahwa kekuasaan mereka hanyalah sebatas gelar dan simbol belaka. Kekuatan sebenarnya berada di tangan organisasi Turki Muda (Ittihad ve Terakki), yang mayoritas anggotanya berasal dari Freemason.

Salah satu imbas terbesar dari peristiwa tersebut adalah dimulainya imigrasi kaum Yahudi sedikit demi sedikit ke bumi Palestina. Puncaknya terjadi saat Khilafah Utsmaniyah terlibat dalam Perang Dunia I (bukan ke-2) melawan Inggris pada tahun 1914. Dengan cepat, pasukan Inggris merebut Sinai dan Palestina selama tahun 1915–1918. Lalu, pada tahun 1917, Inggris berhasil menguasai Baitul Maqdis—untuk pertama kalinya sejak dibebaskan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi dari tangan pasukan salib.

Berbeda dengan pasukan salib yang melakukan pembantaian, Inggris tidak membunuh di Baitul Maqdis, namun merekalah yang memikul dosa terbesar atas pendudukan Palestina. Sebab, ketika pasukan Inggris meninggalkan Palestina tanpa perlawanan, mereka justru “menghadiahkan” tanah Palestina kepada kaum Yahudi.

Tahun 1948, orang-orang Yahudi Zionis Israel meratakan ratusan desa Palestina, mengusir warganya, lalu mendirikan negara yang mereka sebut sebagai Israel Raya (Great Israel) di atas tanah Palestina. Belum cukup sampai di situ, tepat pada hari ketiga Perang Enam Hari tahun 1967, pasukan Israel berhasil merebut Baitul Maqdis dan seluruh kawasan Tepi Barat Sungai Yordan. Pasukan Israel dengan mudah memasuki Masjid Al-Aqsha dan mengibarkan bendera Israel di atas Kubah Batu.

Inilah malapetaka besar bagi kaum Muslimin di abad modern. Selang dua tahun kemudian, tepatnya pada 21 Agustus 1969, Masjid Al-Aqsha dibakar oleh seorang Kristen asal Australia bernama Denis Michael Rohan. Harapannya: jika Masjid Al-Aqsha hancur, maka kedatangan Yesus ke bumi akan semakin cepat. Sebagian besar kaligrafi dari masa berabad-abad sebelumnya hancur, bersama dengan mimbar Shalahuddin yang ikut terbakar.

Sejak hari itu hingga kini, malapetaka itu terus berlanjut.

Alasan-alasan di Balik Kedatangan Yahudi ke Tanah Palestina

1. Doktrin Agama

Menarik untuk kita tilik lebih dalam. Hal ini karena keadaan hidup mereka yang sangat makmur, bahagia, dan penuh dengan hal-hal yang menyenangkan di hampir seluruh belahan dunia, khususnya di Eropa. Sementara Palestina adalah negeri yang kering kerontang. Ia tidak bisa disamakan dengan negara-negara Teluk yang memiliki sumur-sumur minyak melimpah. Akan tetapi, mengapa Yahudi tetap kekeuh datang ke bumi Palestina? Hal itu disebabkan oleh doktrin agama yang mereka yakini sepenuh hati. Bahwa makna dari kata “Israel” adalah Isra = hamba, dan El = Tuhan. Secara harfiah, artinya adalah Hamba Tuhan. Namun, menurut sebagian dari mereka, makna yang benar dari Israel adalah Isra = mashori’, dan El = lillah, jadi mashori’ lillah. Yahudi bergulat dengan Tuhan, dan Tuhan kalah. Karena kemenangannya itulah, Tuhan memberikan hadiah sebuah tanah, yaitu tanah Palestina.

Mungkin tiap-tiap dari kita kadang kala membanggakan kehebatan sukunya masing-masing. Orang Minang mengklaim suku Minangkabau lah yang hebat. Sunda, Jawa pun demikian. Orang Bugis tidak mau ketinggalan, mereka mengatakan orang Bugis hebat karena sanggup mengarungi samudra menggunakan kapal phinisi, ewako. Namun, beda halnya dengan Yahudi. Mereka mengatakan bahwa orang Yahudi hebat karena ketika Yahudi bergulat dengan Tuhan, Tuhan kalah. Atas dasar inilah mereka mengklaim tanah Palestina milik mereka.

2. Produk dari Negara-negara Barat

Pada tahun 1907, seorang politisi dan juga Perdana Menteri Inggris bernama Sir Henry Campbell-Bannerman mengadakan sebuah rapat bersama para duta negara-negara penjajah di kediamannya. Dalam rapat itu, Campbell-Bannerman membagikan peta wilayah Arab kepada setiap peserta rapat. Ia lalu bertanya kepada khalayak peserta, “Apakah kalian menginginkan penjajahan ini tetap langgeng?” Serempak mereka mengatakan, “Ya, kami mau.” Di sini kuncinya, lanjut Bannerman sambil menunjuk peta Arab. Hening, merasa paham dengan kebingungan yang nampak dari mimik wajah mereka, Bannerman pun menjelaskan bahwa sumber bahaya sebenarnya terhadap negara-negara Barat adalah yang terdapat di wilayah Arab, juga bangsa Arab yang hidup di wilayah tersebut yang memiliki faktor-faktor berbeda. Untuk menghilangkan bahaya itu, Bannerman menyimpulkan untuk menggunakan sarana sebagai berikut:

  • Mengonsolidasikan wilayah Arab dalam kondisi disintegrasi dan terpisah satu dengan lainnya.

  • Pendirian negara-negara kecil sebagai negara boneka yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Barat.

  • Memerangi bentuk persatuan apa pun, baik penyatuan pemikiran, hati, maupun sejarah. Pengadaan sarana prasarana keilmuan yang lengkap untuk memisahkan wilayah dan penduduknya di antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.

Namun perlu digarisbawahi di sini bahwa mereka tidak berkeberatan akan pembentukan sebuah badan yang menyatukan antar wilayah Arab dengan kerangka formal. Bahkan lebih besar dari itu, mereka merekomendasikan pendirian Liga Arab. Seketika peserta rapat mengangguk tanda paham. Maka dipilihlah wilayah Palestina sebagai tempat untuk melaksanakan proyek mereka. Posisinya yang strategis dan tepat berada di tengah sehingga dapat memisahkan wilayah Arab Asia dan Arab Afrika. Dengan demikian, negara Israel merupakan proyek dari beberapa negara.

Baitul Maqdis, Barometer Keadamaian Dunia

Jika keberkahan Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah itu khusus untuk kaum Muslimin saja, maka keberkahan Baitul Maqdis adalah untuk umat manusia secara seluruhnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an: الأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ

“Bumi yang kami berkahi di dalamnya untuk semesta alam.” [Al-Anbiya: 71]

Dan karena ayat ini mengisyaratkan pada masa kenabian Ibrahim ‘alaihissalam, maka mungkin dapat dikatakan bahwa keberkahan bagi semesta yang diberikan kepada Baitul Maqdis ini telah terjadi sejak sebelumnya. Bahkan bisa jadi sejak Allah menciptakan bumi. Karena keistimewaan inilah, sejak dahulu Baitul Maqdis menjadi perebutan dari berbagai bangsa, silih berganti.

Hingga ketika periode Islam pertama, Rasulullah SAW juga memfokuskan beberapa pertempuran untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman kekuasaan Romawi. Itu terlihat jelas ketika Rasulullah mengutus satu pasukan yang cukup besar diisi dari kalangan para sahabat senior. Pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid ini, sempat tertunda keberangkatannya karena mendengar kabar Rasulullah SAW jatuh sakit, yang kemudian wafat. Namun, setelah beberapa hari kaum Muslimin mengalami kosongnya kursi kepemimpinan, maka dibai’atlah Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Rasulullah. Dan hanya berselang beberapa saat setelah pembai’atannya, ia langsung kembali mempersiapkan pasukan yang sempat tertunda keberangkatannya. Meski harus menerima banyak kritikan dari kalangan sahabat, Abu Bakar tidak bergeming. Ia hanya menjawab, “Bagaimana bisa aku membatalkan hal yang telah Rasulullah rencanakan?”

Kemudian tibalah masa ketika Umar bin Khattab menduduki kursi kekhalifahan, Palestina takluk yang pada masa itu masih dikenal dengan Ilyâ. Singkatnya, pendeta Syafronius menyerahkan kunci gerbang kota Baitul Maqdis kepada Umar bin Khattab. Semenjak saat itu, Baitul Maqdis kembali menjadi tempat yang aman, begitu juga dengan keadaan dunia.

Akan tetapi, setelah sekian tahun, tepatnya tahun 1099 M, keamanan itu sirna, dan malapetaka besar yang sangat memilukan pun tiba. Baitul Maqdis direbut paksa oleh pasukan Salib. Penduduknya dibantai. Diceritakan bahwa begitu mengerikannya pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Salib hingga darah manusia tergenang setinggi lutut kuda. Hampir dua abad lamanya kekuasaan Salib menduduki Baitul Maqdis.

Ummat islam seakan tertidur dalam nyenyak panjang hingga tak ada suara lantang yang bergema untuk kebebasan Baitul maqdis. Nantilah perjuangan itu mulai tumbuh subur di era Imaduddin Zanky, lalu dilanjutkan oleh anaknya Nuruddin Zanky. Dua orang inilah yang memiliki andil yang sangat besar di dalam pembebasan Baitul maqdis. Puncaknya ketika Shalahuddin meraih kursi kepemimpinan, ia lantas melanjutkan apa yang telah digariskan oleh dua pendahulunya. Sampai di tahun 1187 M  kawasan itu kembali menjadi tempat yang damai bagi seluruh rakyat dari agama manapun selama 730 tahun. Setelah melewati perjuangan yang begitu panjang nan melelahkan. Tibalah hari dimana kaum yahudi berduyun-duyun datang ke bumi palestina. Mereka lalu meratakan, menggusur ratusan pemukiman warga palestina kemudian di atasnya mereka membangun tempat tinggal, pasar, gedung-gedung perkantoran. Waktu itu di tahun 1948.

Setelah 100 tahun lebih semenjak kedatangannya, umat islam seakan masih terlelap dalam tidurnya. Padahal, korban penjajahan yahudi atas Baitul maqdis bukan cuman warga Palestina seorang. Namun, umat islam seluruhnya. Maka wajib bagi setiap seorang muslim untuk memperjuangkan Palestina. Akan tetapi, hal inilah yang banyak tidak diketahui oleh umat islam, bahkan bermasa bodoh, acuh tak acuh dan ironisnya adalah kesuksesan sebuah penjajahan  bukanlah ketika berhasil menghabisi korban. Tetapi, kesuksesan sebuah penjajahan adalah ketika mereka berhasil membuat korbannya merasa tidak terjajah. Dan dalam hal ini, saya kira kaum yahudi meraih kesuksesan yang besar.

Berkaca pada sejarah Andalusia. Lihatlah negeri Andalusia yang sekarang terdiri dari negara Portugal, Spanyol hingga tembus masuk ke wilayah Prancis di pegunungan Pyrene sekitar 40 km jaraknya dengan kota Paris. Sekarang Spanyol adalah salah satu negara yang paling sedikit penduduk Muslimnya, yakni hanya mencapai seratus ribu orang saja. Padahal umat Islam pernah berjaya di sana hampir delapan abad lamanya. Kemanakah peradaban Islam yang pernah bersinar terang benderang? Andalusia bak mesin pencetak ulama-ulama yang namanya mampu menerobos zaman. Kini Andalusia seakan ditelan bumi, hilang tak berbekas. Jannatul Maqdis.

Setelah keruntuhannya pada 2 Januari 1492 M, kerajaan Castile dan Aragon yang berafiliasi menjadi kerajaan Spanyol melakukan penjajahan sapu bersih atau genosida terhadap kaum Muslimin. Mereka membunuh semua penduduknya dalam sebuah serangan sporadis, atau mengusir mereka dengan memindahkan ke negara lain di luar. Selanjutnya kolonialisme ini juga memindahkan orang-orang Kristen ke negara tersebut dari berbagai wilayah. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga merubah masjid menjadi gereja. Lalu tinggal dan hidup di tempat-tempat yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin. Dengan demikian, praktis tidak ada kaum Muslimin yang tersisa di sana. Setelah itu orang-orang Kristen secara turun-temurun hidup dan berkuasa di negeri ini.
Hal yang mesti kita ketahui adalah apa yang saat ini tengah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dengan menempatkan bangsa mereka ke tanah kaum Muslimin, menghabisi bangsa Palestina dengan cara membunuh atau mengusir. Ditambah dengan sikap keras kepala mereka yang menolak para pengungsi ke kampung halamannya, dan tindakan mereka yang mendirikan berbagai bangunan. Semua itu hanyalah salah satu langkah untuk menempatkan bangsa Yahudi menggantikan bangsa Palestina.

Saat ini rakyat Palestina telah terusir dari tempat yang berpotensi menjadikan mereka lupa di mana tempat tinggal mereka yang asli. Hari demi hari seluruh dunia juga mulai lupa masalah Palestina ini. Bahkan rakyat Palestina sendiri juga lupa masalah yang tengah mereka hadapi. Inilah yang benar-benar dikhawatirkan akan terjadi, seperti yang pernah dialami oleh penduduk Andalusia yang harus berpindah ke Afrika Utara, Tunisia, dan Aljazair. Setelah satu atau dua tahun, atau sepuluh tahun, atau bahkan seratus tahun. Sekarang ini keruntuhan Andalusia telah berlalu selama lima ratus tahun. Siapa yang pernah berpikir untuk membebaskannya?

Itulah keadaan yang sebenarnya terjadi. Orang-orang Yahudi terus bergerak mengarahkan seluruh potensi serta kekuatan mereka ke negeri Palestina untuk menempatkan bangsa Yahudi di tempat bangsa Palestina. 

Persoalan Palestina ini, sejatinya sangat mirip dengan Andalusia. Anda lihat bagaimana pada tahun 1992 M diadakan kesepakatan damai antara Yahudi dan Palestina. Kesepakatan yang juga diadakan antara semua negara di dunia, di salah satu kota Andalusia kuno, yakni Madrid. Perundingan damai biasanya dilakukan di Oslo yang dijaga ketat oleh Amerika, Rusia, dan negara-negara lain. Namun hal ini diadakan di Madrid. Dan, keheranan kita terjawab, bahwa alasan diadakannya perundingan pada tahun 1992 ialah untuk mengenang runtuhnya Andalusia yang sudah lewat lima ratus tahun yang lalu.

Seakan-akan mereka sedang mengirim sepucuk surat yang isinya, “Lihat, sejarah akan terulang.” Dan, nyatanya peristiwa-peristiwa yang terjadi di Andalusia akan terulang kembali di Palestina. Gerakan intifadhah yang terjadi di Palestina telah membawa banyak korban gugur. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya pada aksi intifada yang dilakukan oleh Musa bin Abu Gassan di Granada.

Lihatlah, sejarah memang akan terulang tanpa perlu ada pertempuran, debat, atau dialog. Sesungguhnya nasib kalian, wahai warga Palestina, sama seperti yang sebelumnya dialami oleh penduduk Andalusia!

Mari, nasib Palestina kitalah yang menentukan!

Daar Thontowy, Perumahan Bitrul Permai – Kairo, 2025 M

 

Ditulis oleh: Ghazi El-Hawariyyun

Tags:

Kawakibul Fushoha , kegiatan , Makalah Indo , Seminar
Share This :

Recent Posts

Punya Pertanyaan Tentang Kawakib?

Hubungi admin di sini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *